5 Pahlawan Sulawesi Tengah yang Dilupakan Generasi Jaman Now


1. Sis Al-Jufri

Guru Tua adalah tokoh muslim penyebar agama Islam yang mendirikan perguruan tinggi Alkhairaat di Kota Palu dan terus berkembang di kawasan timur Indonesia. Dia lahir di Hadramaut, Yaman, 15 Maret 1892. Guru Tua bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929.

Kedatangannya di Wani atas ajakan masyarakat Arab melalui saudara SIS Al-Jufri untuk mendirikan madrasah. Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa mempengaruhi pemikiran rakyat.

Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 kilometer dari Wani. Madrasah tersebut bernama Alkhairaat. Guru Tua wafat pada 22 Desember 1969 dan dimakamkan di dekat Masjid Alkhairaat di Jalan SIS Aljufri.

Saat ini SIS Aljufri diabadikan menjadi nama bandara di Kota Palu dan beberapa jalan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Ulama bernama lengkap Sayyid Indrus bin Salim Al-Jufri telah mengabdi untuk kepentingan umat Islam di Nusantara, khususnya di bagian timur Indonesia sekitar 40 tahun. Hingga saat ini telah terdapat sekitar 1.600 sekolah Alkhairaat berbagai tingkatan di kawasan timur Indonesia.

2. Karanjalembah

Karanjalembah atau Toma i Dompo, adalah Raja Sigi yang memimpin Perang Sigi-Dolo pada periode awal tahun 1900-an di lembah Palu. Bersama rakyatnya, ia melakukan perang terbuka melawan Hindia Belanda hingga penangkapannya pada tahun 1905 dan diasingkan ke Kabupaten Sukabumi pada tahun 1915.

Sebagai raja muda Sigi, Karanjalembah bergelar Toma i Dompo. Ia menentang secara terbuka aturan Hindia Belanda tentang Plakat Pendek (Koerte Varklaring), yang berisi pengakuan raja-raja di Nusantara untuk mengakui kekuasaan mereka atas wilayahnya.

Sifat tegas dan keras kepala yang dimiliki Karanjalembah membuat pihak Hindia Belanda mencari cara lain. Belanda memfitnahnya dengan tuduhan mencuri seekor kuda kesayangan seorang bangsawan Belanda. Perangkap ini sengaja dipasang untuk menangkapnya sebagai panglima perang, sebab ialah penghalang utama bagi pihak Belanda dalam rangka memuluskan rencana mereka untuk menguasai Lembah Kaili.

3. Lanoni

Lanoni, seorang yang lahir di Dondo, Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Ia tumbuh dalam asuhan Radjaili, guru yang sangat diidolakan oleh dirinya dan warga sekitar. Sebagai seorang putra asli Dondo dan murid terdekat Radjaili, ia merasa berkewajiban memerdekakan kampung halamannya dari penjajah Jepang.

Pemerintahan Imaki Kan Ken Rikan, seorang Jepang yang menjabat bupati di Tolitoli pada 1942, dibantu dengan polisi Jepang dan orang-orang pribumi pro-Jepang, mempekerjakan paksa orang-orang Dondo yang nyaris tidak diupah.

Menyikapi hal ini, Lanoni tidak tinggal diam, ia menyusun pasukan untuk melakukan penyerangan terhadap orang-orang Imaki Kan Ken Rikan. Ia tidak berjuang sendiri, tapi ada juga peran dari istri dan teman-temannya untuk mengokohkan pasukannya.

Selain itu, di perjalanannya mengusahakan penyerangan, ia bertemu dengan seorang pengelana dari Kalimantan, Tantong Karonjani, yang ternyata memiliki masa lalu yang berhubungan dengan Dondo dan Radjaili, kemudian mereka bersama-sama mengupayakan penyerangan.

4. Ta Batoki

Perlawanan serupa seperti Pangeran Diponegoro sesungguhnya juga terjadi di Kabupaten Poso yang dilakukan oleh Ta Batoki yang melakukan perlawanan selama 3 tahun lamanya. Ta Batoki melakukan perlawanan antara tahun 1906 sampai dengan 1909.

Dalam ingatan rakyat, Tabatoki menghimpun pejuangnya dari daratan Onda’e dan memilih bermukim di Tamungkudena atau biasa dikenal juga dengan nama Ratodena. Tempat ini sekarang dikenal sebagai Desa Sawidago.

Ta Batoki dan pejuangnya membangun basis pertahanan di perbukitan Desa Tamungkudena. Untuk melumpuhkan benteng ini, Belanda melakukan isolasi dan melarang desa-desa sekitar membangun lumbung di luar desa. Akibatnya Ta Batoki dan pejuangnya kekurangan makanan.

Dalam keadaan kekurangan makanan dan terus melakukan perlawanan, pada akhirnya Belanda merencanakan sebuah serangan besar-besaran ke Benteng Tamungkudena. Serangan ini dipimpin oleh Letnan Voskuil dengan persenjataan berat. Serangan ini dilancarkan pada bulan Desember 1906.

Setelah beberapa jam pertempuran terjadi, Benteng Tamungkudena dapat direbut Belanda. Dari sini mulailah perjalanan dahsyat perang gerilya Ta Batoki yang legendaris yang berlangsung semenjak tahun 1906 – 1909. Dalam catatan Belanda, Ta Batoki ditemani oleh 30 orang pasukan pemberani yang menyertai beliau melakukan perang gerilya.

5. Tombolotutu

Perjuangan Tombolotutu cukup lama, sekitar tahun 1891 hingga tahun 1904. Secara geografis Tombolotutu melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam jangkauan yang luas, sampai mengarungi lautan Teluk Tomini hingga ke Togean Ampana. Selama perjalanan itu, tidak luput dari intaian dan pengejaran Belanda dan tidak bisa ditangkap.

Dari sisi strategi, Tombolotutu mengembangkan perang gerilya. Keluar masuk hutan, bahkan melewati lautan masuk di sela-sela teluk yang dirasa aman dan sukar ditembus oleh Pemerintah Belanda.

Belanda menurunkan Pasukan Marsose, merupakan pasukan khusus atau pasukan elit Belanda yang pernah diturunkan saat Perang Diponegoro dan Perang Aceh. Kala itu, pasukan Marsose yang diturunkan untuk menumpas perlawanan Tombolotutu kurang lebih berjumlah 170 pasukan. Meski dengan kekuatan sekelas Pasukan Marsose, Belanda tidak pernah berhasil menumpas Tombolotutu.


Preferensi

No comments

Powered by Blogger.