Dibalik Tragedi Eksekusi Lahan Warga Tanjung Sari Luwuk


Kronologi Kejadian

Eksekusi lahan Tanjung Sari Luwuk ricuh, aparat dan warga bentrok. Eksekusi ini berdampak pada 1.411 warga dan 220 unit rumah yang terancam digusur. K
orban luka dari pihak masyarakat sudah mencapai belasan orang.

Aparat gabungan dari unsur TNI dan Polri bentrok dengan warga yang terkena dampak eksekusi lahan. Eksekusi terhambat oleh barisan ibu-ibu pengajian di pertigaan Jalan Yos Sudarso yang sengaja mengadang jalan menuju objek eksekusi.

Lantunan salawat dari ibu-ibu menggema, kemudian disambut dengan pekikan takbir Allahu Akbar berkali-kali oleh kelompok lainnya. Polres Banggai sempat bernegosiasi dengan perwakilan masyarakat terkait adanya tenda dan ibu-ibu pengajian di jalan tersebut, namun tidak menemukan titik temu.

Tidak lama kemudian polisi mulai membubarkan paksa dengan gas air mata setelah massa melempar batu. Satu polisi terkena lemparan batu dari massa yang mengenai wajahnya.

Massa terus melawan dengan melempar batu ke arah petugas, kemudian dibalas tembakan gas air mata dan water cannon. Tembakan demi tembakan dari arah petugas tidak membuat massa mundur.

Massa juga mulai membakar ban bekas di jalan sebagai bentuk perlawanan atas rencana eksekusi lahan tersebut. Pengamanan rencana eksekusi lahan Tanjung itu sendiri melibatkan ribuan personel gabungan TNI dan Polri.

Eksekusi kali ini merupakan lanjutan dari eksekusi sebelumnya pada 5 Mei 2017. Menurut Pengadilan Negeri Luwuk, eksekusi sudah sesuai dengan permohonan sejumlah putusan pada perkara sengketa lahan antara Ny. Berkah Albakar berhadapan dengan Hadin Lanusu, dkk, serta Husen Taferokila dkk. Dalam perkara tersebut telah memperhadapkan Hadin Lanusu, dkk, serta Husen Taferokila dkk, melawan Ny. Berkah Albakkar dan kemudian dimenangkan oleh Berkah.

Dari siaran pers yang dikeluarkan Bidang Humas Polda Sulteng, dari 26 warga yang ditahan di Mapolres Banggai itu mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Namun ada dua warga yang berprofesi sebagai pengacara dan dosen.

Akar Permasalahan

Sengketa ini berawal pada tahun 1977 dimana pada saat itu, pihak ahli waris dari keluarga Salim Albakar menggugat pihak Keluarga Datu Adam atas klaim tanah seluas 38,984 M². Proses gugatan ini diproses di PN Luwuk dengan keluarnya putusan No. 22/PN/1977 tanggal 12 Oktober 1977 yang memutuskan perkara tersebut dimenangkan oleh pihak Keluarga Datu Adam.

Setahun setelahnya, pihak ahli waris dari keluarga Salim Albakar mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang waktu itu masih bertempat di Manado atas putusan tersebut. Melalui putusan No. 113/PT/1978 tanggal 18 Oktober 1978 pihak Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa perkara tetap dimenangkan oleh pihak keluarga Datu Adam.

Tidak puas dengan putusan pengadilan Tinggi, pihak keluarga Salim Albakar melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung padatahun 1981. Dalam putusannya No. 2031/K/SIP/1980 tanggal 16 Desember 198I, MA menolak kasasi dari pihak keluarga Salim Albakar dan memenangkan pihak dari keluarga Datu Adam.

Pada saat itu, warga dari luar telah mulai melakukan garapan dan mendirikan pemukiman di atas lahan yang disengketakan kedua belah pihak. Awalnya mereka melakukan proses jual beli dan penyewaan dengan keluarga Datu Adam sebagai pihak yang memenangkan sengketa tanah tersebut hingga akhirnya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut.

Tahun 1996, pihak ahli waris Salim Albakar kembali melakukan gugatan di atas tanah yang dimenangkan oleh pihak Datu Adam. Gugatan ini berawal dari sengketa tanah pihak Hadin Lanusu dengan pihak Husen Taferokillah di atas tanah yang dimenangkan oleh Keluarga Datu Adam.

Pada saat itu pihak ahli waris Salim Albakar mencoba mengintervensi sengketa antara kedua pihak di atas. Dan melalui proses persidangan, pihak ahli waris Salim Albakar memenangkan intervensi gugatan tersebut melalui putusan MA No. 2351.K/Pdt/1997. Namun pada saat tersebut tidak disebutkan berapa jumlah luasan yang dimenangkan pihak ahli waris Salim Albakar oleh MA.

Merespon putusan tersebut, pada tahun 2006 pihak ahli waris Salim Albakar mengajukan permohonan eksekusi di atas tanah sengketa yang mereka menangkan melalui putusan MA dan dikuatkan dengan Peninjauan Kembali (PK) . Namun pihak PN Luwuk menolak pengajuan tersebut dengan alasan pertimbangan bahwa pokok sengketa tanah adalah 22 m x 26,50 m dan 11,60 m x 11,30 m. Sedangkan yang dimohonkan oleh ahli waris seluas ± 6 hektar. Terhitung sejak tahun 2006 pihak ahli waris Salim Albakar telah melakukan tiga kali permohonan ke PN Luwuk dan PT Sulteng yakni padatahun 2006, 2008, dan 2010 namun semuanya ditolak.

Pada tahun 2016 pihak PN Luwuk mengabulkan permohonan pihak ahli waris yakni, permohonan penggusuran di atas lahan seluas ± 6 hektar. Namun proses eksekusi sempat tertunda dikarenakan pihak Pemda dan Polres Banggai belum menyetujui proses eksekusi dikarenakan objek yang dimohonkan untuk dieksekusi tidak sesuai dengan objek perkara yang dimenangkan.

Barulah pada tanggal 3-6 Mei 2017, PN Luwuk melakukan eksekusi yang pertama di atas lahan seluas ± 9 hektar dengan dikawal oleh aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP sehingga menggusur warga yang telah lama bermukim di sana.

Penggusuran Tidak Sesuai Putusan Peradilan

Kasus penggusuran warga Tanjung Sari ini ditengarai dianggap sudah cacat hukum dari awal. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya bukti-bukti atau fakta-fakta di lapangan yang tidak sesuai dengan keputusan hukum.

Eksekusi yang seharusnya dilakukan hanya terhadap objek sengketa dua bidang tanah dengan ukuran panjang 26,50 meter dan lebar 22 meter, satunya lagi berukuran panjang 6,70 meter dan lebar 13,35 meter sebagai mana amar putusan Mahkamah Agung (MA) 2351K/Pdt./1997 telah dilanggar. Eksekusi yang dilakukan antara 3-6 Mei 2017 tersebut melebihi objek sengketa, yakni seluas 9 hektar.

Tanggal 5 Juni lalu masyarakat juga telah melakukan aksi demontrasi di depan kantor bupati yang berujung ricuh serta penangkapan terhadap dua orang warga oleh pihak kepolisian. Maksud kedatangan warga ialah ingin menyampaikan aspirasi karena merasa hak-hak mereka telah diabaikan. Sementara, bupati sendiri pada waktu itu melarikan diri dan tidak menemui warga.

Sebagian besar warga yang tergusur ialah mereka yang sudah memiliki SHM dan bukti alas hak yang lain, ini diperkuat oleh surat yang di keluarkan oleh Kanwil ATR/BPN Sulteng dan Kantah Banggai beberapa waktu yang lalu.

Aksi Warga Tanjung Sari Setahun Sebelumnya


Ratusan Massa aksi, terdiri dari warga Tanjung Sari dan mahasiswa yang tergabung dalam Front Masyarakat Tanjung Bersatu menggelar aksi terkait sengketa tanah di KelurahanTanjung Sari, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, pada bulan Juni 2017.

Aksi yang berlangsung dari pukul 10 pagi hingga pukul 3 sore ini merupakan aksi lanjutan dari aksi-aksi yang dilegar oleh warga sebelumnya. Aksi dilakukan secara maraton yang dimulai dari lokasi penggusuran ke Pengadilan Negri Luwuk, Polres Banggai, Kantor Pertanahan Banggai dan berakhir di DPRD Banggai. Terakhir, warga juga melakukan aksi di tempat yang sama.

Dalam aksinya, warga menyampaikan beberapa tuntutan kepada pemerintah daerah, diantaranya; 1) meminta agar tanah mereka dikembalikan; 2) pemerintah bertanggung jawab atas kejadian penggusuran serta membebaskan dua orang rekan mereka yang ditahan; 3) meminta pemerintah untuk menyediakan rumah alternatif; 4) meminta BPN untuk menyatakan secara tertulis bahwa alas hak warga masih sah secara hukum: dan 5) mengutuk tindakan represif aparat kepolisian terhadap warga saat berlangsungnya aksi.

Mereka tidak mau direlokasi bahkan tidak mau menerima bantuan apapun dari pemerintah dan pihak-pihak lainnya. Tindakan ini sebagai sebuah aksi protes mereka terhadap ketidakjelasan pemerintah daerah dalam menjalankan hukum sehingga terjadi tumpang-tindih klaim yang akhirnya mengorbankan ribuan warga.

Eksekusi Lahan Tanjung di Banggai Belum Tuntas

Ahli waris Berkah Al Bakar mengklaim eksekusi lahan di Tanjung Sari, Kelurahan Karaton, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Mei 2017 lalu, belum tuntas.

Dengan belum tuntasnya pengosongan lahan milik mereka itu, pihak ahli waris Berkah Al Bakar melalui kuasa hukumnya meminta kepada Pengadilan Negeri Luwuk untuk melakukan eksekusi tahap II.

Berdasarkan hasil pemantauan di lahan Tanjung Sari, ternyata masih ada rumah yang belum terbongkar saat pelaksanaan eksekusi Mei 2017 silam. Bahkan lanjut mereka, ada beberapa warga yang sengaja membangun kembali rumah yang telah dirobohkan di tempat yang sama.

Sementara di lokasi pengusuran, warga yang masih menempati lahan Tanjung Sari menyatakan menolak eksekusi tahap II dan terus melakukan perlawanan.



Preferensi

No comments

Powered by Blogger.